Jagalah kebiasaan Anda agar tetap positif karena ia akan menjadi nilai hidup Anda. Jagalah nilai hidup Anda agar tetap positif karena ia akan menjadi tujuan hidup Anda

Jumat, 18 Februari 2011

Selasa, 15 Februari 2011

gerak lurus

Benda dikatakan bergerak jika berubah terhadap titik acuan. Jika lintasannya lurus maka dikatakan benda tersebut melakukan gerak lurus. Gerak tersebut bisa beraturan (GLB) atau Berubah Beraturan (GLBB)

Guru ! Profesi atau status

Lembar demi lembar formulir telah terisi, tiba pada sebuah isian
Profesi : ............................
Guru atau apa ya. Aku seorang guru tetapi Guru bukan profesiku ! Benrkah ?

Guru itu pula yang disandang oleh Yesus, Guru itu bukan profesi tetapi status yang melekat pada diriku seperti halnya Yesus telah mendapatkan status sebagai seorang Guru.

Jadi Guru BUKAN PROFESI ...

Asal kata Narsis

DIJAMAN Yunani kuno hiduplah seorang pemuda tampan dengan alis tebal menghiasi mata biru indah seindah blue saphire yang telah diasah oleh pengrajin intan martapura. Semua orang mengagumi keindahan mata biru si pemuda. Namun banyak orang yang tidak suka dengan sikapnya yang aneh. Pemuda ini mungkin lebih tepat jika dikatakan cantik dengan kelembutan dan pembawaan diri yang menarik. Narsisus nama pemuda ini.
Setiap hari Narsisus mengagumi ketampanan dan kecantikan dirinya. Mata biru yang dihiasi bulu mata lentik tiada duanya diseantero Yunani selalu menjadikan para wanita iri ingin memilikinya.
Sebuah danau jernih bening yang terletak dikaki bukit desa tempat tinggal Narsisus telah menjadi bagian hidup Narsisus karena setiap hari anak muda ini bercermin di atas danau jernih. Karena kejernihan dan ketenangan air danau menjadikan Narsisus selalu ketagihan untuk bercermin mengagumi ketampanan wajahnya. Dari pagi menjelang siang, dari siang menjelang matahari terbenam Narsisus akan berlama-lama menikmati wajah ayunya dari pinggir danau. Ia berdiri di pinggir danau dengan menjulurkan kepalanya agar kelihatan ketampanan wajahnya untuk ia kagumi.
Suatu hari yang cerah, air danau tampak seperti cermin sempurna yang mampu memantulkan sinar sesuai dengan hukum snellius. Betapa senang dan bahagianya Narsisus pada hari ini. Mata birunya semakin indah, hidung mbangir terlihat semakin jelas menambah ketampanannya.
“Belum pernah aku setampan ini” gumamnya. Kekilafan dan ketidakmampuannya menjaga keseimbangan dimana titik berat tubuhnya berpindah lebih kedepan maka dengan secepat kilat Narsisus terjerembab jatuh kedanau pujaannya. Betapa malang Narsisus, hidupnya tragis tenggelam di dasar danau karena terlalu Narsis dengan ketampanannya.
Setelah kejadian ini para dewa bertanya pada danau
“Mengapa pada saat Narsisus bercermin mengagumi dirinya tenggelam dan meninggal”
“Narsisus si mata biru yang indah itu dewa”
“Ya, benar …” jawab Dewa
“Aku merasa sedih karena saat ini aku tidak bisa melihat indahnya diriku dimata anak muda itu”
 “Huh … sama-sama Narsis” Dengan perasaan jengkel dewa bergumam dan pergi meninggalkan danau.
Semua orang ternyata mempunyai sifat narsis dengan memandang dirinya yang lebih berharga, lebih baik, lebih punya hati dan tidak seorangpun yang boleh menyakitinya, lebih setia, lebih punya komitmen walau kenyataannya menikam dari belakang dengan penggalangan massa, lebih kaya, lebih benar, lebih wisdom (bijaksana) hingga tidak mau lagi berkomunikasi dengan bawahannya, lebih berkuasa padahal 4 tahun yang lalu sama-sama berjuang membangun bisnis dari nol kecil hingga mempunyai 4 cabang, dan lebih-lebih yang lain.
Hilangkan Narsis dari diri Anda jika anda ingin membangun sebuah bisnis. Komitmen dan ketulusan hati untuk berjuang bersama-sama seluruh pelaku usaha yang anda pimpin sangatlah penting. Dengan hilangnya komitmen misal pernyataan mundur salah satu pendiri perusahaan akan berdampak sangat negatif terhadap kelangsungan usaha. Dampak yang paling ditakuti, usaha tidak akan berkembang bahkan akan mengalami kehancuran.
Komitmen berarti mengambil tindakan, baik suka duka tetap dijalani, baik sebentar maupun lama tetap dijalani, baik mahal atau murah ongkosnya, baik mengecewakan maupun membanggakan tetap dijalani sampai berhasil. Inilah yang dikemukakan pelatih sukses no.1 TDW.
Praktekkan buku ini, Anda akan merasakan ada kemudahan dalam membangun sebuah Bisnis Gampang yang Bergelimang Uang dengan tuntunan praktis langkah-demi langkah membangun self publishing. Sebuah bisnis selalu dianalisa untung ruginya, demikian pula bisnis penerbitan mandiri yang sedang dan akan anda bangun ini. Kemudahan yang anda peroleh karena sudah disediakan program analisa keuangan sampai dengan proyeksi laba ruginya. Dengan modal sebesar X rupiah maka anda harus mengatur jumlah buku yang dicetak tiap bulannya agar tidak terjadi defisit di cashflow anda. Pengaturan keuangan dan jadwal terbit bisa anda jumpai di sheet simulasi.
Mungkin Anda terlalu sibuk untuk menjalankan bisnis ini, tidak ada salahnya anda mencoba investasi yang kami tawarkan dengan perhitungan rasional. Baca terus buku ini karena sebentar lagi Anda akan mempunyai bisnis penerbitan mandiri.

Buku oh Buku

Tak dapat dipungkiri, buku merupakan sumber belajaÅ— yang utama dan menjadi sarana penting untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Buku sekolah, khususnya buku pelajaran, merupakan media pembelajaran yang memiliki peran dominan di kelas dan menjadi bagian sentral dalam sistem pendidikan Karena buku merupakan alat yang penting untuk menyampaikan materi kurikulum, maka buku sekolah menududuki peranan sentral pada semua jenjang pendidikan. Hasil penelitian Supriyadi (1997) yang dilakukan terhadap 867 SD dan MI di Indonesia mencatat bahwa tingkat kepemilikan siswa akan buku pelajaran di SD berkorelasi positif secara signifikan dengan hasil belajarnya. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi akses siswa terhadap buku pelajaran, maka semakin tinggi pula hasil belajarnya. Oleh karena itu, setiap upaya untuk meningkatkan akses terhadap buku akan meningkatkan hasil belajar siswa. Hasil studi tersebut sebetulnya konsisten dengan sinyalemen World Bank (1989) yang menegaskan bahwa tingkat kepemilikan siswa akan buku dan fasilitas sekolah lainnya berkorelasi positif dengan prestasi belajarnya.
Karena alasan tersebut di atas, maka pemerintah, sebagaimana juga banyak negara lain di dunia, melakukan investasi besar-besaran dan terkadang intervensi- untuk penyediaan buku sekolah. Hingga tahun 2000 tidak kurang dari US$ 355,2 juta (lebih dari 3 triliun rupiah) telah dialokasikan untuk pengadaan buku SD dan SLTP untuk mencapai rasio 1 buku : 1 siswa.

PERMASALAHAN UMUM PERBUKUAN
Buku-buku sekolah di Indonesia yang meliputi buku pelajaran, buku bacaan, dan buku sumber menguasai sekitar 65 % pangsa pasar buku di Indonesia. Populasi yang dilayaninya mencapai lebih dari 44,8 juta siwa dan lebih dari 2,6 juta guru seluruh jenjang Negeri dan Swasta (Data Depdiknas, 2004). Setiap tahunnya ratusan milyar rupiah dana dialokasikan oleh pemerintah untuk pengadaan buku. Tentunya, dana yang dibelanjakan oleh orang tua siswa untuk membeli buku-buku pelajaran tidak kalah besarnya dengan anggaran pemerintah. Dengan potensi pasar perbukuan yang sedemikian besar secara keseluruhan tentunya juga menyimpan potensi permasalahan yang tidak sederhana.
Setidaknya, permasalahanan tersebut dapat dikategorikan pada beberapa permasalahan berikut:
  1. Kualitas Buku Sekolah
Buku-buku sekolah di Indonesia sangat beragam jenis dan kualitasnya. Permasalahan kualitas buku tentu saja bukan permasalahan yang sederhana, karena berkaitan dengan kualitas penulisan buku, sistem penilaian buku, dan berbagai regulasi lainnya. Kualitas buku berkaitan dengan kualitas fisik yang secara langsung dipengaruhi oleh faktor produksi, dan kualitas isi buku yang juga dipengaruhi oleh banyak faktor. Berkaitan dengan kualitas buku sekolah yang sangat bervariasi tentunya menjadi persoalan tersendiri. Berkaitan dengan pengadaan, persoalan yang dihadapi adalah bagaimana menyediakan buku-buku sekolah yang berkualitas dalam jumlah yang besar untuk semua atau sebagian besar siswa, sehingga penguasaan siswa terhadap materi pelajaran, yang tercermin pada prestasi belajarnya, dapat meningkat. Meskipun telah dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas buku sekolah namun masih terdapat beberapa beberapa kelemahan yang terkait dengan kualitas isi buku sekolah.
Sinyalemen Utomo Dananjaya (Nopember 2008) yang melaporkan hasil penelitian tentang kualitas buku sekolah menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa kelemahan yang menyangkut aspek pedagogis dari materi isi buku sekolah, dan bahkan ditemukan pula adanya konten materi yang dapat dikatakan tertinggal dari perkembangan ilmu pengetahuan terkini. Kualitas isi buku juga secara tidak langsung berkaitan dengan remunerasi terhadap penulis, sistem rabat yang menjadi acuan penerbit, regulasi harga bahan baku kertas, dan lain sebagainya.
  1. Distribusi buku sekolah memiliki rantai distribusi yang cukup panjang karena melibatkan penerbit, distributor buku, toko buku, guru dan sekolah, serta pemerintah pusat dan daerah. Seringkali terjadi konflik antara berbagai kalangan tersebut. Selama ini buku-buku sekolah diperoleh siswa melalui berbagai cara. Sekolah dan pemerintah turut terlibat mempengaruhi distribusi buku mulai dari sistem penilaian buku, pemberian rekomendasi buku layak pakai, dan penjualan buku di sekolah baik melalui sekolah, guru, maupun koperasi sekolah. Penerbit sendiri, di samping memiliki jaringan sampai ke sekolah juga memiliki jaringan distribusi dengan kalangan distributor dan toko buku.
Perkembangan Kebijakan Perbukuan di Indonesia. Penuntasan wajib belajar mutlak membutuhkan ketersediaan buku pelajaran yang berkualitas. Kenyataannya, pemerintah sendiri tak mampu melaksanakan tanggungjawabnya. Setidaknya hal tersebut bisa terlihat dari kebijakan perbukuan termasuk dukungan pembiayaannya. Selama ini kebijakan buku pelajaran sangat dipengaruhi oleh dimensi politik dan ekonomi. Pada era orde baru, pemenuhan buku pelajaran ditanggung pemerintah dan berlaku turun temurun, namun hal itu dilakukan karena adanya kepentingan hegemoni dan indoktrinasi pemerintah terhadap masyarakat. Pengadaan buku pelajaran menjadi hak monopoli pemerintah bekerjasama dengan Balai Pustaka.
Pada era ini berbagai masalah penyimpangan mulai banyak terjadi, mulai dari praktek penyuapan penerbit kepada pemerintah, pembelian kertas yang diarahkan kepada perusahaan tertentu hingga maraknya jual beli buku di sekolah. Belakangan ketika informasi tentang berbagai penyimpangan semakin menjadi konsumsi publik, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri No 11 Tahun 2005 tentang larangan praktek jual beli buku di sekolah sekaligus menetapkan buku berstandarisasi nasional yang dapat berlaku selama lima tahun. Untuk mendukung regulasi tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan BOS khusus buku dengan pendanaan sebesar 900 miliar. Dana ini akan digunakan untuk pembelian buku yang dibagikan secara gratis kepada sekitar 40 juta siswa dengan asumsi nilai buku sebesar Rp. 22.000,00/ siswa. Sayangnya, ketika kebijakan ini belum maksimal dilaksanakan, terjadi krisis minyak yang menyebabkan harga minyak dunia melambung tinggi. Pemerintah yang panik akibat terkena dampak krisis kemudian melakukan pengetatan APBN, semua anggaran departemen termasuk Depdiknas dikurangi. Kondisi inilah yang diperkirakan menjadi asal muasal lahirnya kebijakan buku elektronik, indikasinya jelas subsidi BOS buku berkurang dari Rp. 22.000,-/siswa menjadi Rp. 11.000,/ siswa. Seperti diketahui, Pemerintah baru saja mengeluarkan Permendiknas No.2 Tahun 2008 tentang buku. Melalui permendiknas ini, Depdiknas akan membeli hak cipta dari penulis dan distribusinya berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Depdiknas. Setidaknya Depdiknas mengalokasikan dana sebesar 20 miliar untuk pembelian hak cipta sebanyak 295 jilid buku. 

Besaran dan Satuan

BESARAN DAN SATUAN

q  Besaran adalah segala sesuatu yang dapat diukur dan dinyatakan dengan angka. Besaran dikelompokkan menjadi dua, yaitu:besaran pokok dan besaran turunan.
q  Besaran Pokok adalah Besaran yang satuannya telah ditetapkan terlebih dahulu dan tidak diturunkan dari besaran lain.
q  Besaran Turunan adalah besaran yang satuannya diturunkan dari satuan besaran pokok.
Contoh: kecepatan, percepatan, massa jenis, berat jenis, gaya, dan lain-lain.
q  7 Besaran pokok berdimensi
No.
Besaran pokok
Satuan
Lambang Satuan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Panjang
Massa
Waktu
Suhu
Kuat Arus
Jumlah Zat
Intensitas Cahaya
meter
kilo gram
detik
Kelvin Ampere
mol
candela
m
kg
s
K
A
mol
Cd
Cara menghafal : PaMaWa SuKu JumInten
q  Syarat-syarat satuan standar yang baik:
1.      Tetap, tidak mengalami perubahan dalam keadaan apapun
2.      Dapat digunakan secara internasional
3.      Mudah ditiru
q  Satu meter adalah jarak yang ditempuh cahaya dalam ruang hampa selama selang waktu s.
q  Standar satuan untuk massa adalah kilogram (kg)
Satu kilogram adalah massa sebuah silinder platina iridium yang aslinya disimpan di Sevres (Perancis). Massa 1 kg standar sama dengan massa dari satu liter air murni pada suhu 40C.
q  Satu sekon adalah selang waktu yang diperlukan oleh atom cesium-133 untuk melakukan getaran sebanyak 9.192.631.770 kali.
q  1 menit  = 60 sekon        
1 jam = 60 menit = 3600 sekon      
1 hari = 24 jam = 86400 ekon
q  Satu ampere adalah jumlah muatan listrik 1 coulomb yang melewati suatu penampang dalam periode satu sekon.
q  Satu candela didefinisikan sebagai benda hitam seluas 1 m2 pada suhu 1.773 0C memancarkan cahaya tegak lurus dengan kuat cahaya sebesar 600.000 candela.
q  Satu mol zat ditetapkan sebagai zat yang sama banyaknya dengan 6,025 x 1023 buah partikel
q  Tabel satuan panjang:                                     
No
Nama awalan
Simbol
Faktor
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Eksa
Peta
Tera
Giga
Mega
Kilo
desi
centi
mili
mikro
nano
piko
femto
atto
E
P
T
G
M
k
d
c
m
m
n
p
f
a
1018
1015
1012
109
106
103
10-1
10-2
10-3
10-6
10-9
10-12
10-15
10-18
q  Mengukur suatu besaran adalah membandingkan besaran itu dengan suatu benda satuan.

Empat Tahapan Belajar

Kita akan menghilangkan segala penghalang proses belajar anak dan bagaimana kita meningkatkan konsep diri positif anak dengan memanfaatkan kata-kata yang menjadikan anak lebih dimanusiakan dan harga dirinya semakin diangkat.

Langkah awal yang harus kita pahami hilangkan kata JANGAN, TIDAK atau DILARANG. Kalau kita menggunakan kata-kata ini ada satu kesan negatif yang dirasakan anak. Berlatihlah untuk terus menghilangkan ke tiga kata tersebut. Jika saat kita mau mengucapkan suatu kata yang mengandung kata JANGAN, TIDAK atau DILARANG, ucapkan dalam hati “JADI APA YANG SAYA INGINKAN”. Misalkan “Jangan menambahkan puluhan dengan satuan” JADI APA YANG SAYA INGINKAN “Perhatikan kamu harus menambahkan puluhan dengan puluhan dan satuan dengan satuan”. Dengan merubah cara kita berkomunikasi kita telah merubah pola berfikir dari kerangka masalah menjadi berfikir dengan kerangka solusi. Banyak anak atau bahkan guru yang melihat kesulitan meningkatkan motivasi belajar dari sudut pandang kerangka masalah. Untuk dapat berfikir dari kerangka solusi kita harus tahu terlebih dahulu empat elemen penting dalam pembelajaran.

1. Inkompetensi tanpa sadar (Tidak menyadari ketidakmampuannya). Egi yang baru berumur 3 tahun dengan cekatan menuntun sepeda kecil dan langsung naik ke atas sadel. Walaupun ia sudah familiar dengan sepeda tersebut saat itu juga ia terjatuh bersama sepedanya. Egi tidak menyadari ketidakmampuannya untuk menaiki sepeda karena memang dia belum terampil dan belum pernah berlatih naik sepeda roda dua.

2. Inkompetensi sadar (Menyadari ketidak mampuannya). Setelah terjatuh dari sepeda Egi masih berusaha untuk menaikinya lagi dan mengulang kegagalan yang sama. Baru setelah dua kali gagal dia meninggalkan sepedanya dan berganti mainan yang lain. Egi menyadari ketidak mampuannya naik sepeda.

3. Kompetensi sadar (Menyadari kemampuannya). Setelah beranjak besar Egi kembali berlatih naik sepeda dengan dilatih oleh sang mama tercinta. Dalam kurun waktu dua hari ia telah mampu menguasai sepedanya. Namun dia masih agak kesulitan untuk mengayuh pedal dan menjaga keseimbangan. Sekarang Egi menyadari bahwa ia mampu naik sepeda.

4. Kompetensi tanpa sadar (Tidak menyadari kemampuannya) dilakukan Egi saat dia sudah terbiasa menaiki sepedanya tanpa harus memikirkan lagi mengayuh pedal dan menjaga keseimbangan. Semuanya itu ia lakukan dengan otomatis.

Setiap orang yang belajar mengalami empat tahapan di atas demikian juga anak-anak belajar matematika. Apabila dalam mengerjakan soal matematika anak sudah dengan otomatis menyelesaikannya berarti dia sudah mencapai tingkatan tertinggi proses belajar. Empat tahap belajar akan berulang lagi saat menjumpai soal yang sama sekali baru dijumpai. 

Hakekat Mendidik

Oalah to nak-nak… gitu aja koq ndak bisa … “ terdengar suara tante Yuli penghuni sebelah rumah meneriaki anaknya si Ariel yang masih kelas II SD. “Lha kamu ini mau jadi apaaaa...? nek soal 49 +…… = 97 aja ndak bisa, mbok kayak si Albert anaknya tante Lili …… pinter… juara kelas terus … matematikanya selalu dapat 100 ……” sambil menghela nafas tante Yuli masih merasa kesulitan untuk menerangkan gimana caranya Ariel biar mudheng. Tanpa disadari tante Yuli sudah menamkan dibenak Ariel bahwa Ariel anak yang tidak bisa menghitung. Dan Ariel selalu kalah dengan si Albert "kebanggaan" mamahnya. Ariel pun dengan cueknya tetap bersikukuh menjawab tidak bisa, tidak tau, …… dll  setiap kali ditanya. Bukannya dia malas atau enggan untuk belajar, tapi memang dia ndak bisa. Ariel tidak tahu makna 49 + …… = 97, membayangkan saja sulit !!! apa lagi mengerjakan !!! Kalau sudah begini siapa yang salah …… ? lalu apa yang akan kita perbuat sebagai orang tua ……?
Ariel bukan satu-satunya anak malang korban sistem pengajaran di Indonesia. Masih banyak anak bangsa yang menjadi korban penyimpangan pengajaran. Andaikan kita tahu bahwa setiap individu mempunyai kecerdasan dan tipe belajar yang berbeda-beda kenapa diajar dengan cara yang sama. Anak-anak kita mempunyai kemampuan yang sangat dasyat kenapa dalam menyelesaikan soal harus sama persis dengan gurunya. Bukankah memasukkan unsur bermain akan lebih menyenangkan kenapa harus duduk diam dan tidak boleh bermain di dalam kelas. Berdasarkan hasil penelitian di 3 SD di kota Semarang dan Kudus, ada hal menarik untuk disimak pada sebuah soal 36 + … = 50, sebagian besar anak menjawab 86 didapat dari 36 + 50 (-jangan heran- ini potret pendidikan kita). Pada soal .... – 35 = 58 dijawab 35, di dapat dari 58 – 35. Pemberian soal ini sudah didasari dengan terlebih dahulu menerangkan operasi penjumlahan dan pengurangan, baik suku yang belum diketahui itu di ruas kanan maupun kiri dan bahkan sudah diberi latihan soal yang cukup banyak. Jadi buat mamahnya Ariel tenang aja,  Ariel masih banyak temennya…… hehehe.


Disini guru sudah merasa mengajarkan hal yang seharusnya diajarkan, tetapi guru menganggap jika sudah dijelaskan anak harus tahu !!! Guru kurang memberikan terobosan kreatif bagaimana soal di atas biar mudah dipahami anak. Kasus ini menggambarkan betapa rendahnya pemahaman siswa terhadap konsep abstrak penjumlahan dan pengurangan (ini belum masuk pembagian lho) tidak dilakukan melalui pengalaman. Pengalaman disini adalah penggunaan benda konkret yang bisa dipegang/dirasakan oleh anak. Sekarang sudah jarang ditemui guru mengajar pake lidi, kancing, klungsu, kecik dll seperti jaman saya dulu.

Lah lha wong ngajar jaman sekarang koq pake lidi, kancing, sedotan …. dll …. Kuno, anak-anak pra sekolah sekarang kan sudah bisa berhitung 1 – 100”. Celetuk orang tua pada saat mendengarkan penjelasan kami.

Memang benar anak-anak sudah bisa membilang, tetapi anak-anak butuh pengalaman konkret secara psikomotorik untuk dia bisa memvisualkan dengan benda konkret angka 5, angka 9, angka 45 dst. Dengan melakukan proses menghitung banyaknya lidi, anak akan tahu “O… ternyata 9 dengan 45 banyak 45”, hal ini yang kadang dianggap sepele oleh orang tua maupun guru ...

Simak gambar berikut

Sumber : Program Matematika Pertama

Jumlah ubin dan semut kita (-orang tua-) tahu sama banyaknya.
Nasya anak umur 4,5 th, TK A disebuah sekolah swasta, berhasil membangun korelasi satu-satu antara semut dengan ubin. Dia dapat pula menghitung jumlah ubin ada 6 dan jumlah semut ada 6.

“Coba kamu hubungkan tiap ubin ke semut sya“ Nasya menghubungkan ubin dengan semut
“Sekarang coba nasya perhatikan, antara ubin dan semut banyak mana?”.
“Banyak ini ...... (sambil menunjuk gambar ubin)

Hah... saya terkejut dan saat itu juga saya tersadar bahwa apa yang dipikirkan anak jauh dari apa yang kita pikirkan. Nasya adalah anak yang pandai, dia berani mengungkapkan isi hati dan pendapatnya. Disini terlihat bahwa dalam diri nasya harus dibentuk konsep pemahaman “sama”, jika jumlah suatu benda dapat dikorelasikan satu lawan satu dengan benda lain maka jumlah kedua benda sama banyaknya.

“Koq bisa banyak ubinnya sya.....?” tanya saya
“Lha ya to, khan panjang yang ini ..... (sambil nunjuk kelompok ubin)

Kadang kita sebagai guru/orang tua terjebak pada pola pikir orang dewasa. Untuk simpelnya kita akan mengatakan..... “Salah, yang benar kedua benda ini sama banyaknya”. Jangan salahkan anak, ajaklah anak untuk menemukan kebenaran yang sejati dari pengalaman konkretnya. Mungkin Pada saat itu kita tidak menyadari bahwa ada kebingungan di benak sang anak. Dan apabila ini tidak segera diatasi, pelajaran selanjutnya akan semakin membingungkan. Akhirnya anak mau tidak mau harus menerima “pokoknya” kalau jumlahnya sama berarti banyaknya sama.

Untuk memperkuat pemahaman nilai sama, saya berikan 6 ubin ditangan kirinya dan 6 ubin dengan masing-masing ubin bergambar semut ditangan kanannya. Tangan Nasya yang mungil dapat merasakan kesamaan ubin di kiri dan kanan tangannya. Kemudian saya mengajak Nasya untuk membuat korelasi satu-satu antara ubin dengan ubin bergambar semut, secara refleks Nasya menjawab ... “semut dan ubin sama banyaknya pak..!”

Kemudian saya lanjutkan dengan korelasi satu-satu antara ubin dengan semut. Sambil menarik garis dari semut ke ubin saya jelaskan "Ini namanya korelasi satu-satu sia, setiap satu ubin dipasangkan dengan satu semut. Kalau tidak ada sisanya berarti jumlah ubin sama dengan jumlah semut"

Selang 3 bulan, pada saat saya menyelesaikan tulisan ini, kebetulan nasia lewat dibelakang saya dan melihat gambar di atas.
"Pak...pak...itu gambarnya kayak yang dulu ya..."
"Ya...ini yang pernah dikerjakan Nasia dulu, masih ingat khan kamu"
"Sik...sik...sik sebentar (sambil menunjuk di monitor), satu dua tiga empat ... enam, semutnya ada enam. Ubinnya satu dua ... enam, ubinnya ada enam juga."
"Kalau ngga' dihitung gimana sia ..."
Nasia dengan cekatan menarik garis (korelasi satu-satu antara ubin dengan semut) di monitor Laptop, sambil mengucap "saaatuu duuaaa tiiigaaa ... enam. " Pengalaman konkret yang 3 bulan lalu pernah dia alami masih membekas dimemorinya sehingga dengan mudah nasia mengupload informasi yang tersimpan.

Dalam program matematika pertama ada syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam mengajarkan pemahaman bilangan.
o   “benda-benda yang sepadan 1 lawan 1 mempunyai bilangan yang sama.” adalah syarat pertama untuk memahami bilangan. Ini yang harus dijelaskan ke anak.
o   Tak peduli cara menghitungnya, suatu jumlah benda tetap tidak akan berubah (dihitung dari kiri atau dari kanan)
o   Tanpa mempedulikan bagaimana bilangan itu dibagi menjadi bagian-bagian atau dijumlahkan dari bagian-bagiannya, suatu bilangan tetap tak berubah.
Selain syarat-syarat di atas perlu diperhatikan urut-urutan mengajarkan matematika pada anak. Urutan ini tidak boleh terlewati agar anak paham betul dengan bilangan. Ajarkan anak dengan menggunakan benda konkret/nyata, benda-benda konkret ini akan sangat membantu membuat bayangan di pikiran (visualisasi). Urutan terakhir baru pengenalan simbol/lambang angka (1, 2, 3, ..., 9)
Untuk anak-anak usia SD ajak mereka bermain-main dengan angka, misalkan nebak hari kelahiran. Tidak hanya untuk anak SD kita orang dewasapun akan senang jika segala sesuatu dapat dilakukan dengan fun.

Nol (0) yang sulit
Pengalaman kami dalam mengajarkan angka 0 semakin yakin bahwa metode MagicMathic’s sangat bermanfaat dalam menanamkan konsep dasar matematika. Kenyataan dilapangan banyak anak kelas 2 SD sulid memahami 200 – 2, karena belum paham dengan makna angka 0.
Jessie anak kelas 1 SD disebuah sekolah swasta di kota Semarang. Kecepatan guru mengajar disekolah Jessie membuat kami harus membenahi beberapa konsep matematikanya. Dengan metode ubin yang kami terapkan, Jessie mampu membuat visualisasi di otak kanannya tentang meminjam dan menyimpan.

Mohon perhatian pada Bapak/Ibu guru di TK dan SD, bahwa konsep meminjam dan menyimpan tidak bisa diterangkan hanya dengan diomongkan (verbal)
“Anak-anak kalau bilangan yang dikurangi lebih kecil dari bilangan pengurangnya maka kita harus meminjam pada bilangan disebelah kirinya.”
 Apa yang dikatakan guru, cukup sulid dipahami anak. Anak-anak butuh pemahaman tentang meminjam dan menyimpan.

Fisika Quantum Lebih Mudah dari Penjumlahan

Ester cemberut saat keluar dari kelas B-1 sebuah Taman Kanak-Kanak yang cukup terkenal. Tidak biasanya dia memasang muka kusut seperti hari ini. Ester anak yang ceria dalam perilaku sehari-hari, kecerdasan interpersonalnya sangat menonjol sehingga Ester lebih sering diberi tugas oleh Bu Cory guru kelasnya. Hampir semua orang yang melihat memuji setiap bagian anggota tubuhnya yang nyaris sempurna. Anak sekecil ini sudah menunjukkan cikal bakal kecantikan dikemudian hari. Lesung pipit selalu menghiasi wajah mungilnya saat dia menjawab sapaan teman atau orang-orang tua iseng disekitarnya. Rambut hitam bergelombang bak mayang mengurai laksana putri kraton Nagari Ngayogyakarta Hadi Ningrat. Singkat cerita Ester kecil menjadikan banyak anak sebayanya iri. Komunitas orang tua penjemput disekolahan tersebutpun ikut iri melihat Ester kecil penuh talenta.

          Tapi mengapa pada hari Rebo legi ini, Ester kehilangan semuanya. Dia berubah menjadi makhluk lain yang tidak pernah ada di sekolahan tersebut. Ester cemberut dengan bibir maju kurang lebih 2 cm lebih 3 mm. Tas ranselnya ditarik di atas lantai sebagai tanda kepada orang disekitar bahwa dia sedang tidak mood. Yang lebih parah lagi butiran air di pojok kedua matanya hampir jatuh. Butiran air ini menandakan ada satu peristiwa yang sulid dia terima dan sungguh menyakitkan. Semua orang yang kebetulan mengetahui peristiwa itu sontak tanpa dikomando menanyakan ada apa gerangan sampai anak seperti Ester tertekan secara psikologis.
“Jatuh di mana Ester”
“Siapa yang bikin kamu cemberut anak manis”
“Wah cantik-cantik koq nangis” –emangnya nangis monopoli orang jelek- red
Pertanyaan yang tidak perlu dijawab ini menjadikan Ester kecil semakin senewen sampai-sampai tidak tahan dengan cecaran pertanyaan yang tak berujung pangkal. Ketidak tahanannya ini dia tumpahkan menjadi sebuah suara yang tidak asing buat orang-orang tua yaitu “nangis”.
          Sebetulnya ada apa dengan kejadian ini?
Hari Rebo legi ini kelas B-1 ada pelajaran matematika tingkat tinggi yaitu penjumlahan. Penjumlahan ini tidak seperti biasanya seperti 8 + 2 = 10. Sebuah penjumlahan yang dia tidak pernah tahu maknanya 4 + … = 8. “Apa pentingnya soal ini untuk kehidupannku” gumam Ester. Ester seorang anak yang sangat beruntung karena delapan kecerdasan yang dia miliki sempurna adanya. Dia selalu mengukur tinggi bibit kacang tanah yang dia tanam di pot depan kelasnya tiap hari. Dari hari ke hari Ester selalu menyanyikan lagu-lagu ABG yang memang tidak ada pilihan lagu-lagu lain seusianya. Dia lebih memilih lagu Ketahuannya Matta atau Sebelum Cahayanya Letto daripada Bintang kecil atau Rayuan Pulau Kelapa. Human relationshipnya sangat bagus terbukti dengan banyak temannya yang sering dia tolong. Singkat cerita Tuhan telah menganugerahkan semuanya untuk Ester. Tapi mengapa dia menangis hanya karena 4 + … = 8.
          Soal di atas cukup sulid dicerna oleh anak seusia Ester. Gurunya mengatakan empat ditambah berapa sama dengan delapan. Hampir semua anak melakukan kesalahan yang menurut mereka benar tetapi salah menurut logika berfikir orang tua dan orang yang sudah tahu lebih dulu tentang penjumlahan di atas.
“Haruskah teman-teman harus bisa mengerjakan soal tersebut?”
“Bolehkah mereka tidak bisa mengerjakan soal tersebut?”
Dalam kebingungan menata hati menghadapi kenyataan pahit situasi kelas yang mulai tidak nyaman, dia dikejutkan dengan suara nyaring Bu Cory
“Jarinya mana … yang kiri 4 dan yang kanan berapa agar mejadi 8”
Rupanya Bu Cory telah kehilangan kesabarannya dan alam semesta sudah mulai tidak bersahabat lagi. Entah apa yang dipikirkan dan dikejar Bu Cory, sehingga dia rela membelenggu para siswa dengan suatu konsep abstrak tak bermakna dan harus dipahami dengan segera. Ester merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan kondisi ini
“Mengapa kami dimarahi, harusnya Bu Cory mengajarkan sampai kita tahu betul”.
Ester duduk terdiam di pojok kelas dengan hati tak menentu. Dia tidak tahu harus mengadu kepada siapa, harus berkata apa dan harus bersikap bagaimana. Sampai bel pulang sekolah berbunyi dengan lantang mengakhiri neraka kelas TK B-1. Semua anak bersorak riang gembira menyambut pahlawan yang bernama bel yang tepat di depan kelas mereka. Dengan serta merta kejadian memilukan yang baru saja terjadi hilang seketika seiring dengan menghilangnya bunyi bel. Namun tidak demikian yang dirasakan Ester, dia tetap tidak bisa menerima perlakuan Bu Cory di dalam kelas. “Bukankah Bu Cory belum pernah mengajar dengan benar soal tersebut, tapi mengapa dia menuntut kami harus benar mengerjakan soal itu”

          Potret buram pendidikan dasar Negara kita telah memporak porandakan masa depan anak-anak kita. Mengapa materi-materi yang seharusnya belum diberikan pada anak dipaksakan diberikan ke anak. Dari sisi orang tua mungkin akan merasa bangga jika anaknya yang masih berumur 2 tahun sudah bisa melakukan penjumlahan. Bahkan umur 1 tahun sudah mulai sekolah. Lha anak-anak ini bisa apa, mereka hanya menuruti kemauan orang tua saja tanpa bisa berbuat apa-apa. Seandainya mereka bisa berontak mereka akan berontak dengan sekuat tenaga. Dengan dalih jaman sekarang semakin cepat anak sekolah berarti akan semakin cepat pandai dan semakin cepat tahu segalanya, maka banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya dan diserahkan sepenuhnya pada sekolah. Bukankah justru sebaliknya, orang tua mau lepas tanggung jawab terhadap anaknya. Dengan kesibukan yang sangat luar biasa sehingga tidak mempunyai waktu untuk mendidik anak maka satu-satunya jalan yang sangat manusiawi menurutnya memasukkan buah hati tercinta ke lembaga sekolah sedini mungkin. Sadarlah wahai para orang tua, dengan menyekolahkan anak kita yang berumur 1 tahun bukan berarti kita sangat mencintai anak kita. Sebaliknya kita justru menjerumuskan mereka kelembah kebodohan dan kehancuran. Persaingan mereka yang sesungguhnya terjadi pada saat memasuki universitas kehidupan.
          Sadarkah kita dengan apa yang kita lakukan pada anak-anak kita? Murid seharusnya dimanusiakan bukan dirobotkan. Anak-anak diajar dari jam 7 pagi hingga jam 14.00 dengan prosentase terbesar untuk duduk. Belum lagi saat menyongsong Ujian Nasional, sekolah-sekolah berlomba-lomba memberikan pelajaran tambahan pada anak didiknya. Berarti dari jam 07.00 sampai jam 15.30 mereka duduk, memeras otak dan banyak mendengarkan ceramah guru. Banyak anak-anak kita kehilangan tipe belajarnya sehingga mereka merasa tersiksa di dalam kelas. Kelas yang seharusnya indah untuk merenda masa depan menjadi sebuah ruangan 6 × 5 m2 yang tak jelas tujuannya. Seorang pelajar kinestetik akan sering kena marah karena dianggap lebih usil dari teman-teman yang lain. Sadarkah kita sebagai guru bahwa murid ini akan merasa lebih sulid untuk diam daripada mengerjakan soal Fisika Quantum.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons