Jagalah kebiasaan Anda agar tetap positif karena ia akan menjadi nilai hidup Anda. Jagalah nilai hidup Anda agar tetap positif karena ia akan menjadi tujuan hidup Anda

Selasa, 15 Februari 2011

Fisika Quantum Lebih Mudah dari Penjumlahan

Ester cemberut saat keluar dari kelas B-1 sebuah Taman Kanak-Kanak yang cukup terkenal. Tidak biasanya dia memasang muka kusut seperti hari ini. Ester anak yang ceria dalam perilaku sehari-hari, kecerdasan interpersonalnya sangat menonjol sehingga Ester lebih sering diberi tugas oleh Bu Cory guru kelasnya. Hampir semua orang yang melihat memuji setiap bagian anggota tubuhnya yang nyaris sempurna. Anak sekecil ini sudah menunjukkan cikal bakal kecantikan dikemudian hari. Lesung pipit selalu menghiasi wajah mungilnya saat dia menjawab sapaan teman atau orang-orang tua iseng disekitarnya. Rambut hitam bergelombang bak mayang mengurai laksana putri kraton Nagari Ngayogyakarta Hadi Ningrat. Singkat cerita Ester kecil menjadikan banyak anak sebayanya iri. Komunitas orang tua penjemput disekolahan tersebutpun ikut iri melihat Ester kecil penuh talenta.

          Tapi mengapa pada hari Rebo legi ini, Ester kehilangan semuanya. Dia berubah menjadi makhluk lain yang tidak pernah ada di sekolahan tersebut. Ester cemberut dengan bibir maju kurang lebih 2 cm lebih 3 mm. Tas ranselnya ditarik di atas lantai sebagai tanda kepada orang disekitar bahwa dia sedang tidak mood. Yang lebih parah lagi butiran air di pojok kedua matanya hampir jatuh. Butiran air ini menandakan ada satu peristiwa yang sulid dia terima dan sungguh menyakitkan. Semua orang yang kebetulan mengetahui peristiwa itu sontak tanpa dikomando menanyakan ada apa gerangan sampai anak seperti Ester tertekan secara psikologis.
“Jatuh di mana Ester”
“Siapa yang bikin kamu cemberut anak manis”
“Wah cantik-cantik koq nangis” –emangnya nangis monopoli orang jelek- red
Pertanyaan yang tidak perlu dijawab ini menjadikan Ester kecil semakin senewen sampai-sampai tidak tahan dengan cecaran pertanyaan yang tak berujung pangkal. Ketidak tahanannya ini dia tumpahkan menjadi sebuah suara yang tidak asing buat orang-orang tua yaitu “nangis”.
          Sebetulnya ada apa dengan kejadian ini?
Hari Rebo legi ini kelas B-1 ada pelajaran matematika tingkat tinggi yaitu penjumlahan. Penjumlahan ini tidak seperti biasanya seperti 8 + 2 = 10. Sebuah penjumlahan yang dia tidak pernah tahu maknanya 4 + … = 8. “Apa pentingnya soal ini untuk kehidupannku” gumam Ester. Ester seorang anak yang sangat beruntung karena delapan kecerdasan yang dia miliki sempurna adanya. Dia selalu mengukur tinggi bibit kacang tanah yang dia tanam di pot depan kelasnya tiap hari. Dari hari ke hari Ester selalu menyanyikan lagu-lagu ABG yang memang tidak ada pilihan lagu-lagu lain seusianya. Dia lebih memilih lagu Ketahuannya Matta atau Sebelum Cahayanya Letto daripada Bintang kecil atau Rayuan Pulau Kelapa. Human relationshipnya sangat bagus terbukti dengan banyak temannya yang sering dia tolong. Singkat cerita Tuhan telah menganugerahkan semuanya untuk Ester. Tapi mengapa dia menangis hanya karena 4 + … = 8.
          Soal di atas cukup sulid dicerna oleh anak seusia Ester. Gurunya mengatakan empat ditambah berapa sama dengan delapan. Hampir semua anak melakukan kesalahan yang menurut mereka benar tetapi salah menurut logika berfikir orang tua dan orang yang sudah tahu lebih dulu tentang penjumlahan di atas.
“Haruskah teman-teman harus bisa mengerjakan soal tersebut?”
“Bolehkah mereka tidak bisa mengerjakan soal tersebut?”
Dalam kebingungan menata hati menghadapi kenyataan pahit situasi kelas yang mulai tidak nyaman, dia dikejutkan dengan suara nyaring Bu Cory
“Jarinya mana … yang kiri 4 dan yang kanan berapa agar mejadi 8”
Rupanya Bu Cory telah kehilangan kesabarannya dan alam semesta sudah mulai tidak bersahabat lagi. Entah apa yang dipikirkan dan dikejar Bu Cory, sehingga dia rela membelenggu para siswa dengan suatu konsep abstrak tak bermakna dan harus dipahami dengan segera. Ester merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan kondisi ini
“Mengapa kami dimarahi, harusnya Bu Cory mengajarkan sampai kita tahu betul”.
Ester duduk terdiam di pojok kelas dengan hati tak menentu. Dia tidak tahu harus mengadu kepada siapa, harus berkata apa dan harus bersikap bagaimana. Sampai bel pulang sekolah berbunyi dengan lantang mengakhiri neraka kelas TK B-1. Semua anak bersorak riang gembira menyambut pahlawan yang bernama bel yang tepat di depan kelas mereka. Dengan serta merta kejadian memilukan yang baru saja terjadi hilang seketika seiring dengan menghilangnya bunyi bel. Namun tidak demikian yang dirasakan Ester, dia tetap tidak bisa menerima perlakuan Bu Cory di dalam kelas. “Bukankah Bu Cory belum pernah mengajar dengan benar soal tersebut, tapi mengapa dia menuntut kami harus benar mengerjakan soal itu”

          Potret buram pendidikan dasar Negara kita telah memporak porandakan masa depan anak-anak kita. Mengapa materi-materi yang seharusnya belum diberikan pada anak dipaksakan diberikan ke anak. Dari sisi orang tua mungkin akan merasa bangga jika anaknya yang masih berumur 2 tahun sudah bisa melakukan penjumlahan. Bahkan umur 1 tahun sudah mulai sekolah. Lha anak-anak ini bisa apa, mereka hanya menuruti kemauan orang tua saja tanpa bisa berbuat apa-apa. Seandainya mereka bisa berontak mereka akan berontak dengan sekuat tenaga. Dengan dalih jaman sekarang semakin cepat anak sekolah berarti akan semakin cepat pandai dan semakin cepat tahu segalanya, maka banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya dan diserahkan sepenuhnya pada sekolah. Bukankah justru sebaliknya, orang tua mau lepas tanggung jawab terhadap anaknya. Dengan kesibukan yang sangat luar biasa sehingga tidak mempunyai waktu untuk mendidik anak maka satu-satunya jalan yang sangat manusiawi menurutnya memasukkan buah hati tercinta ke lembaga sekolah sedini mungkin. Sadarlah wahai para orang tua, dengan menyekolahkan anak kita yang berumur 1 tahun bukan berarti kita sangat mencintai anak kita. Sebaliknya kita justru menjerumuskan mereka kelembah kebodohan dan kehancuran. Persaingan mereka yang sesungguhnya terjadi pada saat memasuki universitas kehidupan.
          Sadarkah kita dengan apa yang kita lakukan pada anak-anak kita? Murid seharusnya dimanusiakan bukan dirobotkan. Anak-anak diajar dari jam 7 pagi hingga jam 14.00 dengan prosentase terbesar untuk duduk. Belum lagi saat menyongsong Ujian Nasional, sekolah-sekolah berlomba-lomba memberikan pelajaran tambahan pada anak didiknya. Berarti dari jam 07.00 sampai jam 15.30 mereka duduk, memeras otak dan banyak mendengarkan ceramah guru. Banyak anak-anak kita kehilangan tipe belajarnya sehingga mereka merasa tersiksa di dalam kelas. Kelas yang seharusnya indah untuk merenda masa depan menjadi sebuah ruangan 6 × 5 m2 yang tak jelas tujuannya. Seorang pelajar kinestetik akan sering kena marah karena dianggap lebih usil dari teman-teman yang lain. Sadarkah kita sebagai guru bahwa murid ini akan merasa lebih sulid untuk diam daripada mengerjakan soal Fisika Quantum.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons