Jagalah kebiasaan Anda agar tetap positif karena ia akan menjadi nilai hidup Anda. Jagalah nilai hidup Anda agar tetap positif karena ia akan menjadi tujuan hidup Anda

Selasa, 15 Februari 2011

Hakekat Mendidik

Oalah to nak-nak… gitu aja koq ndak bisa … “ terdengar suara tante Yuli penghuni sebelah rumah meneriaki anaknya si Ariel yang masih kelas II SD. “Lha kamu ini mau jadi apaaaa...? nek soal 49 +…… = 97 aja ndak bisa, mbok kayak si Albert anaknya tante Lili …… pinter… juara kelas terus … matematikanya selalu dapat 100 ……” sambil menghela nafas tante Yuli masih merasa kesulitan untuk menerangkan gimana caranya Ariel biar mudheng. Tanpa disadari tante Yuli sudah menamkan dibenak Ariel bahwa Ariel anak yang tidak bisa menghitung. Dan Ariel selalu kalah dengan si Albert "kebanggaan" mamahnya. Ariel pun dengan cueknya tetap bersikukuh menjawab tidak bisa, tidak tau, …… dll  setiap kali ditanya. Bukannya dia malas atau enggan untuk belajar, tapi memang dia ndak bisa. Ariel tidak tahu makna 49 + …… = 97, membayangkan saja sulit !!! apa lagi mengerjakan !!! Kalau sudah begini siapa yang salah …… ? lalu apa yang akan kita perbuat sebagai orang tua ……?
Ariel bukan satu-satunya anak malang korban sistem pengajaran di Indonesia. Masih banyak anak bangsa yang menjadi korban penyimpangan pengajaran. Andaikan kita tahu bahwa setiap individu mempunyai kecerdasan dan tipe belajar yang berbeda-beda kenapa diajar dengan cara yang sama. Anak-anak kita mempunyai kemampuan yang sangat dasyat kenapa dalam menyelesaikan soal harus sama persis dengan gurunya. Bukankah memasukkan unsur bermain akan lebih menyenangkan kenapa harus duduk diam dan tidak boleh bermain di dalam kelas. Berdasarkan hasil penelitian di 3 SD di kota Semarang dan Kudus, ada hal menarik untuk disimak pada sebuah soal 36 + … = 50, sebagian besar anak menjawab 86 didapat dari 36 + 50 (-jangan heran- ini potret pendidikan kita). Pada soal .... – 35 = 58 dijawab 35, di dapat dari 58 – 35. Pemberian soal ini sudah didasari dengan terlebih dahulu menerangkan operasi penjumlahan dan pengurangan, baik suku yang belum diketahui itu di ruas kanan maupun kiri dan bahkan sudah diberi latihan soal yang cukup banyak. Jadi buat mamahnya Ariel tenang aja,  Ariel masih banyak temennya…… hehehe.


Disini guru sudah merasa mengajarkan hal yang seharusnya diajarkan, tetapi guru menganggap jika sudah dijelaskan anak harus tahu !!! Guru kurang memberikan terobosan kreatif bagaimana soal di atas biar mudah dipahami anak. Kasus ini menggambarkan betapa rendahnya pemahaman siswa terhadap konsep abstrak penjumlahan dan pengurangan (ini belum masuk pembagian lho) tidak dilakukan melalui pengalaman. Pengalaman disini adalah penggunaan benda konkret yang bisa dipegang/dirasakan oleh anak. Sekarang sudah jarang ditemui guru mengajar pake lidi, kancing, klungsu, kecik dll seperti jaman saya dulu.

Lah lha wong ngajar jaman sekarang koq pake lidi, kancing, sedotan …. dll …. Kuno, anak-anak pra sekolah sekarang kan sudah bisa berhitung 1 – 100”. Celetuk orang tua pada saat mendengarkan penjelasan kami.

Memang benar anak-anak sudah bisa membilang, tetapi anak-anak butuh pengalaman konkret secara psikomotorik untuk dia bisa memvisualkan dengan benda konkret angka 5, angka 9, angka 45 dst. Dengan melakukan proses menghitung banyaknya lidi, anak akan tahu “O… ternyata 9 dengan 45 banyak 45”, hal ini yang kadang dianggap sepele oleh orang tua maupun guru ...

Simak gambar berikut

Sumber : Program Matematika Pertama

Jumlah ubin dan semut kita (-orang tua-) tahu sama banyaknya.
Nasya anak umur 4,5 th, TK A disebuah sekolah swasta, berhasil membangun korelasi satu-satu antara semut dengan ubin. Dia dapat pula menghitung jumlah ubin ada 6 dan jumlah semut ada 6.

“Coba kamu hubungkan tiap ubin ke semut sya“ Nasya menghubungkan ubin dengan semut
“Sekarang coba nasya perhatikan, antara ubin dan semut banyak mana?”.
“Banyak ini ...... (sambil menunjuk gambar ubin)

Hah... saya terkejut dan saat itu juga saya tersadar bahwa apa yang dipikirkan anak jauh dari apa yang kita pikirkan. Nasya adalah anak yang pandai, dia berani mengungkapkan isi hati dan pendapatnya. Disini terlihat bahwa dalam diri nasya harus dibentuk konsep pemahaman “sama”, jika jumlah suatu benda dapat dikorelasikan satu lawan satu dengan benda lain maka jumlah kedua benda sama banyaknya.

“Koq bisa banyak ubinnya sya.....?” tanya saya
“Lha ya to, khan panjang yang ini ..... (sambil nunjuk kelompok ubin)

Kadang kita sebagai guru/orang tua terjebak pada pola pikir orang dewasa. Untuk simpelnya kita akan mengatakan..... “Salah, yang benar kedua benda ini sama banyaknya”. Jangan salahkan anak, ajaklah anak untuk menemukan kebenaran yang sejati dari pengalaman konkretnya. Mungkin Pada saat itu kita tidak menyadari bahwa ada kebingungan di benak sang anak. Dan apabila ini tidak segera diatasi, pelajaran selanjutnya akan semakin membingungkan. Akhirnya anak mau tidak mau harus menerima “pokoknya” kalau jumlahnya sama berarti banyaknya sama.

Untuk memperkuat pemahaman nilai sama, saya berikan 6 ubin ditangan kirinya dan 6 ubin dengan masing-masing ubin bergambar semut ditangan kanannya. Tangan Nasya yang mungil dapat merasakan kesamaan ubin di kiri dan kanan tangannya. Kemudian saya mengajak Nasya untuk membuat korelasi satu-satu antara ubin dengan ubin bergambar semut, secara refleks Nasya menjawab ... “semut dan ubin sama banyaknya pak..!”

Kemudian saya lanjutkan dengan korelasi satu-satu antara ubin dengan semut. Sambil menarik garis dari semut ke ubin saya jelaskan "Ini namanya korelasi satu-satu sia, setiap satu ubin dipasangkan dengan satu semut. Kalau tidak ada sisanya berarti jumlah ubin sama dengan jumlah semut"

Selang 3 bulan, pada saat saya menyelesaikan tulisan ini, kebetulan nasia lewat dibelakang saya dan melihat gambar di atas.
"Pak...pak...itu gambarnya kayak yang dulu ya..."
"Ya...ini yang pernah dikerjakan Nasia dulu, masih ingat khan kamu"
"Sik...sik...sik sebentar (sambil menunjuk di monitor), satu dua tiga empat ... enam, semutnya ada enam. Ubinnya satu dua ... enam, ubinnya ada enam juga."
"Kalau ngga' dihitung gimana sia ..."
Nasia dengan cekatan menarik garis (korelasi satu-satu antara ubin dengan semut) di monitor Laptop, sambil mengucap "saaatuu duuaaa tiiigaaa ... enam. " Pengalaman konkret yang 3 bulan lalu pernah dia alami masih membekas dimemorinya sehingga dengan mudah nasia mengupload informasi yang tersimpan.

Dalam program matematika pertama ada syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam mengajarkan pemahaman bilangan.
o   “benda-benda yang sepadan 1 lawan 1 mempunyai bilangan yang sama.” adalah syarat pertama untuk memahami bilangan. Ini yang harus dijelaskan ke anak.
o   Tak peduli cara menghitungnya, suatu jumlah benda tetap tidak akan berubah (dihitung dari kiri atau dari kanan)
o   Tanpa mempedulikan bagaimana bilangan itu dibagi menjadi bagian-bagian atau dijumlahkan dari bagian-bagiannya, suatu bilangan tetap tak berubah.
Selain syarat-syarat di atas perlu diperhatikan urut-urutan mengajarkan matematika pada anak. Urutan ini tidak boleh terlewati agar anak paham betul dengan bilangan. Ajarkan anak dengan menggunakan benda konkret/nyata, benda-benda konkret ini akan sangat membantu membuat bayangan di pikiran (visualisasi). Urutan terakhir baru pengenalan simbol/lambang angka (1, 2, 3, ..., 9)
Untuk anak-anak usia SD ajak mereka bermain-main dengan angka, misalkan nebak hari kelahiran. Tidak hanya untuk anak SD kita orang dewasapun akan senang jika segala sesuatu dapat dilakukan dengan fun.

Nol (0) yang sulit
Pengalaman kami dalam mengajarkan angka 0 semakin yakin bahwa metode MagicMathic’s sangat bermanfaat dalam menanamkan konsep dasar matematika. Kenyataan dilapangan banyak anak kelas 2 SD sulid memahami 200 – 2, karena belum paham dengan makna angka 0.
Jessie anak kelas 1 SD disebuah sekolah swasta di kota Semarang. Kecepatan guru mengajar disekolah Jessie membuat kami harus membenahi beberapa konsep matematikanya. Dengan metode ubin yang kami terapkan, Jessie mampu membuat visualisasi di otak kanannya tentang meminjam dan menyimpan.

Mohon perhatian pada Bapak/Ibu guru di TK dan SD, bahwa konsep meminjam dan menyimpan tidak bisa diterangkan hanya dengan diomongkan (verbal)
“Anak-anak kalau bilangan yang dikurangi lebih kecil dari bilangan pengurangnya maka kita harus meminjam pada bilangan disebelah kirinya.”
 Apa yang dikatakan guru, cukup sulid dipahami anak. Anak-anak butuh pemahaman tentang meminjam dan menyimpan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons